Dicatat oleh Ibnu Nashr dalam
Qiyamul Lail (73),
حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ عَبْدِ الأَعْلَى ، أَخْبَرَنِي
أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ ، عَنْ مُوسَى بْنِ عُقْبَةَ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : ” إِذَا قَامَ صَاحِبُ الْقُرْآنِ فَقَرَأَهُ
بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ وَإِنْ لَمْ يَقُمْ بِهِ نَسِيَهُ “
“Yunus bin Abdil A’la menuturkan kepadaku, Anas bin ‘Iyadh
mengabarkan kepadaku, dari Musa bin ‘Uqbah, dari Nafi’ dari Ibnu Umar
radhiallahu’anhu, dari Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda:
‘
Jika seseorang shahibul Qur’an membaca Al Qur’an di malam hari
dan di siang hari ia akan mengingatnya. Jika ia tidak melakukan
demikian, ia pasti akan melupakannya‘”
hadits ini dicatat juga imam Muslim dalam
Shahih-nya (789), oleh Abu ‘Awwanah dalam
Mustakhraj-nya (3052) dan Ibnu Mandah dalam
Fawaid-nya (54)
Derajat hadits
Hadits ini shahih tanpa keraguan, semua perawinya
tsiqah. Semuanya perawi Bukhari-Muslim kecuali Yunus bin bin Abdil A’la, namun ia adalah perawi Muslim.
Faidah hadits
- Hafalan Al Qur’an perlu untuk dijaga secara konsisten setiap
harinya. Karena jika tidak demikian akan, hilang dan terlupa.
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
إنما مَثَلُ صاحبِ القرآنِ كمثلِ الإبلِ المعَقَّلَةِ . إن عاهد عليها أمسكَها . وإن أطلقها ذهبَت
“Permisalan Shahibul Qur’an itu seperti unta yang diikat. Jika ia
diikat, maka ia akan menetap. Namun jika ikatannya dilepaskan, maka ia
akan pergi” (HR. Muslim 789)
Imam Al ‘Iraqi menjelaskan: “Nabi mengibaratkan bahwa mempelajari Al
Qur’an itu secara terus-menerus dan membacanya terus-menerus dengan
ikatan yang mencegah unta kabur. Maka selama Al Qur’an masih diterus
dilakukan, maka hafalannya akan terus ada”.
Beliau juga mengatakan: “dalam hadits ini ada dorongan untuk mengikat
Al Qur’an dengan terus membacanya dan mempelajarinya serta ancaman dari
melalaikannya hingga lupa serta dari lalai dengan tidak membacanya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101-102)
- Kalimat فَقَرَأَهُ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ ذَكَرَهُ (membaca Al Qur’an di malam hari dan mengingatnya di siang hari) menunjukkan bahwa membaca Qur’an dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an hendaknya dilakukan setiap hari.
- Anjuran untuk terus mempelajari, membaca dan muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an secara konsisten, setiap hari,
di seluruh waktu. Al Qurthubi menyatakan: “hal pertama yang mesti
dilakukan oleh shahibul qur’an adalah mengikhlaskan niatnya dalam
mempelajari Al Qur’an, yaitu hanya karena Allah ‘Azza wa Jalla semata,
sebagaimana telah kami sebutkan. Dan hendaknya ia mencurahkan jiwanya
untuk mempelajari Al Qur’an baik malam maupun siang hari, dalam shalat
maupun di luar shalat, agar ia tidak lupa” (Tafsir Al Qurthubi, 1/20).
- Anjuran untuk lebih bersemangat membaca Al Qur’an di malam hari. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْئًا وَأَقْوَمُ قِيلًا
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan (Qur’an) di waktu itu lebih kuat masuk hati” (QS. Al Muzammil)
- Anjuran untuk muraja’ah (mengulang) hafalan Al Qur’an di siang hari dan malam hari
- Hadits di atas tidak membatasi membaca Qur’an dan muraja’ah
(mengulang) hafalan Al Qur’an hanya malam dan siang saja, namun sekedar irsyad (bimbingan) dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
agar senantiasa melakukannya. Hadits riwayat Muslim di atas menunjukkan
bahwa semakin sering membaca dan muraja’ah itu semakin baik dan semakin
mengikat hafalan Al Qur’an. Dan pemilihan waktunya disesuaikan apa yang
mudah bagi masing-masing orang. Syaikh Shalih Al Maghamisi, seorang
pakar ilmu Al Qur’an, ketika ditanya tentang hal ini beliau menjawab:
“waktu menghafal yang utama itu tergantung keadaan masing-masing orang
yang hendak menghafal. Adapun berdasarkan tajribat (pengalaman), waktu yang paling baik adalah setelah shalat shubuh”
- Hadits ini dalil bahwa shahibul qur’an, dengan segala
keutamaannya, yang dimaksud adalah orang yang menghafalkan Al Qur’an,
bukan sekedar membacanya. Al Imam Al Iraqi mengatakan: “yang zhahir,
yang dimaksud shahibul qur’an adalah orang yang menghafalkannya” (Tharhu At Tatsrib, 3/101). Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menyatakan, “ketahuilah, makna dari shahibul Qur’an adalah orang yang menghafalkannya di hati. berdasarkan sabda nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
يؤم القوم أقرؤهم لكتاب الله
“hendaknya yang mengimami sebuah kaum adalah yang paling aqra’ terhadap kitabullah”
maksudnya yang paling hafal. Maka derajat surga yang didapatkan
seseorang itu tergantung pada banyak hafalan Al Qur’annya di dunia,
bukan pada banyak bacaannya, sebagaimana disangka oleh sebagian orang.
Maka di sini kita ketahui keutamaan yang besar bagi pada penghafal Al
Qur’an. Namun dengan syarat ia menghafalkan Al Qur’an untuk mengharap
wajah Allah tabaaraka wa ta’ala, bukan untuk tujuan dunia atau harta”